PAI, yang cantik yang terpinggirkan
oleh
Aby Fathan amarullah
Bismillahirohmaanirrohiim
Pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi kiblat seluruh dunia,
hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang terbesar dalam keragaman
seni, budaya, letak geografis, bahkan keragaman dalam beragama dan semuanya
dilindungi oleh negara. Indonesia bisa dan tentu saja harus menjadi kiblat
peradaban dan pendidikan dunia saat ini, karena beberapa keragaman tersebut akan
menjadi aset dan kekuatan ketika dikemas dalam sebuah kurikulum yang kokoh dan
mengakar pada peradaban dan kearifan lokal itu sendiri.
Perkembangan pendidikan di Indonesia pada kenyataannya tidak
sebanding dengan ekspektasi masyarakat, perubahan demi perubahan kurikulum yang
di-atasnama-kan dengan istilah perbaikan dan penyempurnaan, pada tataran
teknisnya tidak lebih dari sekedar tuntutan anggaran dan gengsi kebijakan. Hal
ini bisa kita lihat pada beberapa dekade akhir denga begitu masifnya perubahan demi
perubahan kurikulum dilakukan pada tiap pergantian kabinet, yang pada akhirnya,
dengan tanpa memungkiri banyak sekali
manfaatnya, para guru lah yang merasakan dampak langsung dari perubahan itu.
Guru sebagai pengajar dan pendidik sangat merasakan langsung dari
tiap perubahan kurikulum tersebut, yang terjadi saat ini adalah alih alih bisa
meramu standar nasional pendidikan dan
mempraktikan langsung dalam kelas, yang terjadi adalah bagaimana seorang guru
begitu sibuknya membuat laopran hasil pembelajaran dengan berbasis aplikasi,
yang notabene banyak guru senior yang kurang faham ICT, yang pada akhirnya
tidak melihat lagi bobot nilai tiap peserta didik sesuai tuntutan penilaian
otentik, tetapi bagaimana nilai siswa
bis di input di aplikasi dan sesuai dengan deskripsi yang telah di setting pada
aplikasi.
Hal seperti dikemukakan di atas tentunya tidak semua terjadi pada
setiap sekolah, namun pada tataran standar minimal itulah kondisi yang
dirasakan dan terjadi akibat perubahan standar kurikulum di Indonesia. Entah apa dan siapa yang salah,
tentunya bukan itu pertanyaan yang seharusnya dan tidak butuh jawaban untuk hal
itu, karena semuanya kembali kepada sistem pendidikan di Indonesia yang sangat
kompleks dan luas.
Tidak akan menjadi sebuah solusi tatkala apa yang kita
perbincangkan hanya seputar keluhan dan mencari kesalahan, tetapi akan lebih
bermakna jika kita semua kembali kepada tugas dan fungsi kita masing masing,
disinilah akan kita temukan pada stnadar mana kita berdiri dan pada tahap mana
kita sudah melangkah, jangan jangan kita belum berbuat apa apa karena terlalu
sibuk mengamati perkembangan.
Ada
beberapa tujuan pendidikan yang pernah muncul dalam sejarah. Plato sangat
menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Ia mengatakan
bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui, lepas dari
belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran.
Aristoteles
mempunyai tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya
dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama
dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran
utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama
konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia).
Pada era
Restorasi Meiji di Jepang, tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan
negara, pendidikan dirancang untuk kepentingan negara.
Bagaimana tujuan pendidikan nasional di republik ini? UUD 1945
(versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang."
Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."
Penjabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab."
Bila dibandingkan dengan undang-undang pendidikan sebelumnya, yaitu
Undang-Undang No. 2/1989, ada kemiripan kecuali berbeda dalam pengungkapan.
Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan."
Pada Pasal 15, Undang-undang yang sama, tertulis, "Pendidikan
menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta
menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam
sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau
pendidikan tinggi."
Bila dipelajari, di atas kertas tujuan pendidikan nasional masih
sesuai dengan substansi Pancasila, yaitu menjadikan manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Namun, apakah tujuan pendidikan ini
dijabarkan secara konsisten di dalam kurikulum pendidikan dan juga dalam sistem
pembelajaran? Jawabannya mari kita telusuri lebih lanjut.
Ada dua kata kunci dalam tujuan pendidikan di Indonesia yaitu
menjadikan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan dan berakhlak mulia, maka
bertolak dari sinilah seluruh komponen kurikulum pendidikan Indonesia disusun,
seluruh aspek dalam metode pembelajaran dibuat dan seluruh penelitian dan
pengembangan pendidikan direncanakan.
Ada yang unik didalam sistem pendidikan Indonesia sebagai negara
dan bangsa yang berketuhanan, yaitu peran agama begitu kuat dan sangat kental
pada setiap jenjang pendidikan, bahkan saking kuatnya, sampai sampai ada dua
kementerian sekaligus yang menangani pendidikan formal di Indonesia, yaitu
kementerian Pendidikan dan kementerian Agama.
Ada banyak dinamika dan hal rumit yang terjadi dalam tataran teknis
penyelenggaraan pendidikan ketika dinaungi oleh dua kementerian, tetapi sampai
saat ini masih berjalan secara normal dan harmonis, meskipun banyak konsekwensi
besar yang harus ditanggung oleh masing masing kementerian tersebut.
Muncul dua nama lembaga
pendidikan formal yang berbeda antara sekolah dan madrasah, merupakan bagian
dari skema penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh dua kementerian,
lembaga pendidikan formal dengan nama sekolah dibawah naungan kementerian
pendidikan, dan lembaga pendidikan formal yang bernama madrasah dibawah naungan
kementerian Agama, walaupun mata pelajaran pada masing masing lembaga
pendidikan tersebut sama saja, dan hanya pada mata pelajaran agama saja yang
berbeda, untuk di madrasah pendidikan Agama dibagi ke dalam beberapa aspek.
Ada keunikan dan keindahan tersendiri dalam mata pelajaran
Pendidikan Agama pada sekolah, baik itu Agama Islam, kristen, hindu, budha
maupun konghucu, walaupun kurikulum pendidikan Agama diterbitkan oleh
kementerian pendidikan, tetapi para penyusun kurikulumnya melibatkan dan atas
rekomendasi kementerian Agama, selain itu seluruh kebijakan yang berkaitan
dengan pelaksanaan kurikulum pendidikan Agama termasuk para pendidiknya
dikeluarkan oleh dua kementerian sekaligus yaitu kementerian Pendidikan dan
Kementerian Agama, berbeda dengan mata pelajaran lain yang dikelola secara
terpisah oleh masing masing kemneterian, sesuai dengan lembaga pendidikan, dan
mata pelajaran apa yang di ampunya.
Pendidik (guru) pendidikan Agama pada sekolah, status
kepegawaiannya ada yang dibawah naungan pemerintah daerah dan ada yang dibawah
naungan kementerian agama, namun mereka mampu berkolaboratif efektif dalam
organisasi profesi yang bernama KKG PAI (kelompok kerja guru PAI) untuk jenjang
SD, MGMP PAI (musyawarah guru mata pelajaran PAI) untuk SMP/SMPLB dan
SMA/SMK/SMALB. Kurikulum pendidikan Agama yang digunakan adalah kurikulum yang
dikeluarkan oleh kementerian pendidikan, sedangkan anggaran untuk peningkatan
kompetensi guru dan pelatihan profesional serta tunjangan profesi untuk guru
Pendidikan agama dikeluarkan oleh anggaran kementerian Agama, sungguh ini
menjadi sebuah keunikan tersendiri dalam harmonisasi pendidikan di Indonesia
yang dinamis dan beragam.
Terbitnya Peraturan Pemerintah no 32 tahun 2013 Perubahan Pertama
Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan,
memunculkan kurikulum tahun 2013 yang begitu booming dan masif, ada beberapa
mata pelajaran yang mendapat porsi lebih pada kurikulum ini, diantaranya mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam, yang semula untuk tingkat SD hanya 3 jam
menjadi 4 jam, untuk SMP dan SMA/SMK yang semula hanya 2 jam berubah menjadi 3
jam pelajaran, dan tentu saja ini sangat bermanfaat baik bagi peserta didik,
maupun bagi pendidiknya terutama yang sudah tersertifikasi dan kekurangan jam
pelajaran.
Namun dibalik manfaat yang didapat dari perubahan regulasi
kurikulum tersebut, tetap menyimpan beberapa kendala teknis yang dianggap berat
dan mengambang oleh sebagian praktisi pendidikan, diantaranya adalah terkait
penilaian dan laporan hasil belajar yang terlalu ribet dan memakan biaya
banyak.
Melihat berbagai permasalahan dan aduan dari para praktiisi
pendidkan, Pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan nasional mengambil
langkah strategis dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan, salah satunya
dengan menerbitkan beberapa peratutan menteri terkait dengan penyempurnaan dan
pelaksanaan kurikulum 2013, namun sekali lagi sepertinya belum menyentuh
substansi dasar dari problem besar
penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Yaitu pendidikan yang bisa
membentuk karakter dan akhlak yang mulia sekaligus recovery kebobrokan mental
bangsa, yang tentu saja tidak hanya bisa diselesaikan dengan mempercantik
tulisan diatas kertas saja tetapi ada action langsung yang menyentuh pada
setiap peserta didik, dan disinilah peran Agama sangat diperlukan dalam mensukseskan
tujuan pendidikan di Indonesia.
Peraturan pemerintah no 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
keagamaan, pada pasal 3 ayat 2 berbunyi
:”Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.” Regulasi ini
menjadi dasar kuat dalam penyelenggaraan pendidikan agama pada sekolah, dan
seyogyanya difahami secara mendalam, bahwa khusus mata pelajaran agama termasuk
pembinaan dan pengawasannya berada dalam naungan kementerian Agama, sehingga
dalam hal ini kementerian pendidikan dan pemerintah daerah perannya hanya
sebatas koordinasi dan fasilitator, hal ini tidak bisa dilepaskan sebab
sarana lembaga pendidikan formal baik
jenjang SD, SMP, SMA/SMK, semuanya milik pemerintah daerah. Dan penyelengaraan
pendidikan pada sekolah dibawah kewenangan kementerian pendidikan.
Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran, sekarang ini seperti
gadis cantik nan elok yang digandrungi oleh setiap yang memandangnya, bagaimana
tidak, inilah satu satunya mata pelajaran yang memiliki dimensi ukhuwah dan
induk bagi tiap mata pelajaran lainnya. Pendidikan agama Islam yang di singkat
dengan nama PAI, merupakan mata pelajaran yang merekatkan 3 kementerian dan
pemerintah daerah sekaligus, yaitu kementerian agama sebagai ruh nya,
kementerian Pendidikan sebagai mitranya, kementerian pendayagunaan aparatur
negara /Menpan-RB sebagai induk regulator status kepegawaiannya, dan pemerintah
daerah sebagai raga nya.
Namun disamping itu semua, mata pelajaran PAI masih dianggap mata
pelajaran yang termarginalkan, bahkan tidak sedikit perlakuan dan perhatian
dari pihak lembaga/sekolah sendiri tidak begitu kuat terhadap peran guru PAI,
mereka ada diantara mereka hanya menggunakan peran PAI dalam momentum
ceremonial saja itupun hanya sebatas pembaca doa penutup acara. Guru PAI hanya
sebatas pengajar dikelas, selebihnya dimesjid/mushola sekolah, dan selesai
sudah. Sungguh tragis, seakan lupa bahwa pada struktur kurikulum, bahkan dalam
raport, mata pelajara PAI yang dtempatkan pada urutan matapelajaran di sekolah,
namun kenyataanya seperti bumi dan langit.
Masih banyak pihak yang menganggap Mata pelajaran selain PAI atau ada yang mengistilahkan mata
pelajarn umum, seperti mata pelajaran bidang sains, dianggap mata pelajaran
utama, mereka lebih bangga melihat anak/peserta didik yang berprestasi dibidang
itu dibanding dengan melihat perubahan sikap siswa yang asalnya jarang ke
masjid menjadi rajin ke masjid, siswa yang asalnya urakan menjadi sopan,
perubahan mental siswa yang asalnya malas belajar menjadi rajin menghafal,
padahal jika kita melihat tujuan pendidikan, justru perubahan mental dan
kemajuan sikap itulah yang diharapkan dalam membangun karakter bangsa secara
nasional. Karena jika lembaga pendidikan hanya sekedar bisa mencetak anak yang
hebat dalam sains, cakap dalam seni, ataupun lancar dalam berbahasa, maka cukup
melalui bimbel ataupun lembaga kursus dan sanggar teater. Pendidikan bukan
sekedar cakap dan terampil secara psikomotorik namun mumpuni dalam pengetahuan
dan kuat dalam akhlak serta memiliki karakter bangsa yang handal.
Perlakuan yang kurang baik terhadap guru PAI bukan tanpa sebab, hal
ini dikarenakan masih banyak guru guru PAI yang terkategori jumud, perubahan
menjadi sebuah kata yang tabu, saintifik begitu asing, inovatif tidak meiliki
arti, kreatif perlu aktif, dan masih banyak hal yang membelenggu dalam diri
guru PAI. Bahkan kehadiran kurikulum 2013, yang banyak mengistilahkan dengan
kurikulum PAI, tidak memiliki efek yang berarti. Maka bisa diambil kesimpulan
sementara, bahwa salah satu penyebab mata pelajaran PAI di sekolah kurang
mendapat perhatian, kemungkinan akibat dari guru PAI yang belum optimal dalam
menggunakan metode pembelajaran yang kekinian dan sesuai dengan karakter siswa.
Seiring dengan program pemerintah melalui peraturan presiden no 87
tahun 2017 dalam penguatan pendidikan karakter, maka peran PAI di sekolah
menjadi semakin kuat dan menjadi sumber materi penguatan karakter peserta
didik. Maka sejalan dengan program tersebut diperlukan kompetensi guru PAI yang
bermutu, inovatif kreatif dan komuniaktif, tanpa kehadiran guru PAI yang
bermutu.
Bahkan untuk menunjang akselerasi pencapaian target tujuan
pendidikan dalam penguatan karakter bangsa serta peningkatan kompetensi guru,
pemerintah telah mengeluarkan panduan 4 jenis pola peningkatan kompetensi, yaitu
:
1.
Integrasi
Penguatan pendidikan karakter;
2.
Literasi;
3.
pembelajaran
abad 21; dan
4.
Model
dan perangkat pembelajaran berbasis HOTS
(higher other thinking skill)
Ke empat strategi tersebut sebetulnya stock lama wajah baru, sebab
pada intinya hanya meramu pemikiran para guru bangsa diantaranya filosofi bapak
pendidikan Indonesia yaitu kihajar dewantoro, serta 4 kompetensi yang
harus dimiliki guru dalam menyongsong peradaban kekinian yaitu:
kritis,kreatif,kolabratif dan kominakif.
Ketika pendidik/guru enggan menerima dan tabu akan perubahan maka
jangan harap keberlangsungan serta tjuan pendidikan bisa tercapai dengan
optimal, maka oleh karena itu hal yang paling utama dilakukan adalah menyentuh
para pendidik agar memahami dan berkeinginan untuk kritis dalam kondisi yang
ada, kreatif dalam keterbatasan yang dimiliki, kolaboratif dengan seluruh
potensi yang ada serta mampu mengomunikasikan secara efektif pada tiap tahap pembelajaran.
Sebagai bukti keseriusan pemerintah terhadap pentingnya mata
pelajaran PAI maka lahirlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63
Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005, mengubah
Direktrorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam menjadi Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam.
Dan sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama
RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat,
yaitu :
- Sekretaris Direktorat Jenderal
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
- dan Kelompok Jabatan Fungsional.
Sejak itulah satu satunya mata pelajaran yang memiliki strukur
lembaga sendiri hanya mata pelajaran PAI yang dipimpin langsung oleh pejabat
esselon II ( direktur PAI ). Dan sekarang seluruh hal yang berkaitan dengan
mata pelajaran PAI pada tiap jenjang mulai tingkat dasar sampai perguruan
tinggi dikelola langsung oleh direktorat PAI kementerian Agama republik
Indonesia.
Melalui kewenangan yang diamanatkan pemerintah kepada menteri
agama, maka dalam hal ini kementerian agama memiliki hak mutlak untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap keberlangsungan pendidkan Agama di Indonesia,
atas dasar ituah maka menteri Agama melalui Peraturan Menteri Agama no 2 tahun
2012 tentang pengawas madrasah dan pengawas pendidikan agama Islam pada
sekolah, berhak untuk menyelenggarkan rekrutmen pengawas PAI seluruh Indonesia
pada tiap jenjang sekolah, baik mereka yang status kepegawaian pemda maupun
yang dari kemneterian Agama.
Maka setelah keluar peraturan tersebut, bola panas tentang peran
sentral PAI ada pada tangan pengawas PAI, karena selain kepala sekolah hanya
pengawas PAI yang diberikan tugas supervisi akademik untuk melakukan penilaian, pemantauan,
pembinaan, serta bimbingan dan pelatihan profesional terhadap guru PAI. peran pengawas pula agar
seorang guru PAI bisa berubah, kritis,
kreatif, kolabratif dan komunikatif.
Memang tidak semudah membalikan telapak tangan dalam melaksanakan
misi yang diemban dalam merubah karakter seorang guru PAI, namun setidaknya
seorang pengawas yang sudah diberikan tugas tetap harus menjaga agar kondisi
tersebut tidak berlarut larut, bahkan idealnya sebelum seorang guru di bimbing
tentang mendidik yang sesuai dengan standar pendidikan, maka pengawas PAI harus
lebih dulu memiliki pemahaman serta integritas dan komitmen tinggi dalam
meningkatkan mutu guru dan mata pelajaran PAI.
Dari awal pembahasan ini tetap berkaitan dengan kondisi yang
diharapkan dalam mencapai tujuan pendidikan di Indonesia, dan di situlah
peranan PAI, namun membahas mata pelajaran dan guru PAI, bagaikan 2 sisi mata
uang, yang sebelah kelihatan manis dan menggiurkan namun sebelah lagi
menggambarkan sebuah proses dalam pencapaiannya.
PAI sebagai mata pelajaran penopang akhlak dan karakter bangsa,
tentu sangat di rindukan, namun disisi lain perhatian dan kondisi masyarakat
terhadap keberadaan agama seakan tergerus akibat peraan globalisasi dan
peradaban yang nyaris tanpa batas, sehingga tuntutan negara tidak lagi terhadap
pengutan akhlak, tetapi bagaimana lulusan sekolah atau perguruan tinggi itu
siap kerja dan memiliki skill psikomotorik saja, harapan semua semoga dengan
peraturan presiden nomor 87 tahun 2017 tentang penguatan karakter seorang
lulusan diharapkan paripurna, memiliki
akhlak yang cerdas, jiwa yang berkarakter dan skill yang tinggi.
PAI juga sebagai mata pelajaran di sekolah, tentunya dinaungi oleh
dua kementerian berbeda, yaitu kemenag dan kemnedikbud. Hal ini tidak jarang
disikapi miring oleh beberapa oknum yang kurang faham tentang regulai dan
strukutr organisasi pemerintah, sehingga terkadang posisi guru PAI yang dari
kementerian Agama diposisikan sebagai guru tamu atau orang asing yang
pergerakannya terbatas, satu sisi wajar karena tidak masuk dalam strukutur
kepegawaian pemda, namun bukan berarti hak hak dia sebagai guru PAI nya menjadi
terbatas. Tentunya hal ini menjadi gambaran buruk dalam dunia pendidikan yang
harus segera dicarikan solusinya.
Pun demikian apa yang dialami oleh para pengawas PAI baik yang dari
dinas pendidikan yang diangkat bupati/walikota maupun yang diangkat oleh kemenag,
masalah klasik adalah ketersinggungan pengawas mapel umum yang seakan tidak
terima adanya pengawas PAI yang ikut mebina sekolah binaannya, hal ini
kasuistik namun itulah gambaran dunia pendidikan kita, belum lagi tentang
penugasan yang tidak berimbang dan sebagainya.
Hal yang paling krusial yang dialami oleh pengawas PAI adalah
regulasi yang menaunginya, yaitu PMA no 2 tahun 2012, dari sini terlihat jelas
bagaimana sebuah regulasi dikeluarkan tanpa koordinasi yang matang.
Antara kementerian Agama, kemenpanRB dan kemneterian pendidikan
seharusnya duduk bersama sebeum regulasi yang menyangkut tiga kementerian
tersebut diterbitkan, salah satu contohnya adalah tentang beban kerja seorang
pengawas PAI. Tentunya banyak hal yang harus di diskusikan secara komprehensip
dan sungguh sungguh, tidak sekedar memnuhi kuota anggaran kemnterian.
Dari sekian banyak tulisan hanya satu harapan dari seorang pengawas
PAI, yaitu regulasi yang tepat akan menghantarkan Pengawas PAI yang
profesional, pengawas PAI profesional akan menghantarkan guru PAI yang
profesional, guru PAI yang profesional akan mampu mencetak anak bangsa yang
berakhlak cerdas, berjiwa luas, berkarakter kuat, dan memiliki skill yang
tinggi sehingga mampu mengangkat peradaban menjadi bangsa yang maju.
wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar