Rabu, 17 Januari 2018

PAI, yang cantik yang terpinggirkan

iahidarya | 13.17 |
PAI, yang cantik yang terpinggirkan
oleh
Aby Fathan amarullah

Bismillahirohmaanirrohiim
Pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi kiblat seluruh dunia, hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang terbesar dalam keragaman seni, budaya, letak geografis, bahkan keragaman dalam beragama dan semuanya dilindungi oleh negara. Indonesia bisa dan tentu saja harus menjadi kiblat peradaban dan pendidikan dunia saat ini, karena beberapa keragaman tersebut akan menjadi aset dan kekuatan ketika dikemas dalam sebuah kurikulum yang kokoh dan mengakar pada peradaban dan kearifan lokal itu sendiri.

Perkembangan pendidikan di Indonesia pada kenyataannya tidak sebanding dengan ekspektasi masyarakat, perubahan demi perubahan kurikulum yang di-atasnama-kan dengan istilah perbaikan dan penyempurnaan, pada tataran teknisnya tidak lebih dari sekedar tuntutan anggaran dan gengsi kebijakan. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa dekade akhir denga begitu masifnya perubahan demi perubahan kurikulum dilakukan pada tiap pergantian kabinet, yang pada akhirnya, dengan  tanpa memungkiri banyak sekali manfaatnya, para guru lah yang merasakan dampak langsung dari perubahan itu.
Guru sebagai pengajar dan pendidik sangat merasakan langsung dari tiap perubahan kurikulum tersebut, yang terjadi saat ini adalah alih alih bisa meramu  standar nasional pendidikan dan mempraktikan langsung dalam kelas, yang terjadi adalah bagaimana seorang guru begitu sibuknya membuat laopran hasil pembelajaran dengan berbasis aplikasi, yang notabene banyak guru senior yang kurang faham ICT, yang pada akhirnya tidak melihat lagi bobot nilai tiap peserta didik sesuai tuntutan penilaian otentik,  tetapi bagaimana nilai siswa bis di input di aplikasi dan sesuai dengan deskripsi yang telah di setting pada aplikasi.
Hal seperti dikemukakan di atas tentunya tidak semua terjadi pada setiap sekolah, namun pada tataran standar minimal itulah kondisi yang dirasakan dan terjadi akibat perubahan standar kurikulum  di Indonesia. Entah apa dan siapa yang salah, tentunya bukan itu pertanyaan yang seharusnya dan tidak butuh jawaban untuk hal itu, karena semuanya kembali kepada sistem pendidikan di Indonesia yang sangat kompleks dan luas.
Tidak akan menjadi sebuah solusi tatkala apa yang kita perbincangkan hanya seputar keluhan dan mencari kesalahan, tetapi akan lebih bermakna jika kita semua kembali kepada tugas dan fungsi kita masing masing, disinilah akan kita temukan pada stnadar mana kita berdiri dan pada tahap mana kita sudah melangkah, jangan jangan kita belum berbuat apa apa karena terlalu sibuk mengamati perkembangan.
Ada beberapa tujuan pendidikan yang pernah muncul dalam sejarah. Plato sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Ia mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui, lepas dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. 
Aristoteles mempunyai tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia).
Pada era Restorasi Meiji di Jepang, tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara, pendidikan dirancang untuk kepentingan negara.
Bagaimana tujuan pendidikan nasional di republik ini? UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."
Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."
Penjabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Bila dibandingkan dengan undang-undang pendidikan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 2/1989, ada kemiripan kecuali berbeda dalam pengungkapan.
Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan kebangsaan."
Pada Pasal 15, Undang-undang yang sama, tertulis, "Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi."
Bila dipelajari, di atas kertas tujuan pendidikan nasional masih sesuai dengan substansi Pancasila, yaitu menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Namun, apakah tujuan pendidikan ini dijabarkan secara konsisten di dalam kurikulum pendidikan dan juga dalam sistem pembelajaran? Jawabannya mari kita telusuri lebih lanjut.
Ada dua kata kunci dalam tujuan pendidikan di Indonesia yaitu menjadikan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan dan berakhlak mulia, maka bertolak dari sinilah seluruh komponen kurikulum pendidikan Indonesia disusun, seluruh aspek dalam metode pembelajaran dibuat dan seluruh penelitian dan pengembangan pendidikan direncanakan.
Ada yang unik didalam sistem pendidikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berketuhanan, yaitu peran agama begitu kuat dan sangat kental pada setiap jenjang pendidikan, bahkan saking kuatnya, sampai sampai ada dua kementerian sekaligus yang menangani pendidikan formal di Indonesia, yaitu kementerian Pendidikan dan kementerian Agama.
Ada banyak dinamika dan hal rumit yang terjadi dalam tataran teknis penyelenggaraan pendidikan ketika dinaungi oleh dua kementerian, tetapi sampai saat ini masih berjalan secara normal dan harmonis, meskipun banyak konsekwensi besar yang harus ditanggung oleh masing masing kementerian tersebut.
Muncul  dua nama lembaga pendidikan formal yang berbeda antara sekolah dan madrasah, merupakan bagian dari skema penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh dua kementerian, lembaga pendidikan formal dengan nama sekolah dibawah naungan kementerian pendidikan, dan lembaga pendidikan formal yang bernama madrasah dibawah naungan kementerian Agama, walaupun mata pelajaran pada masing masing lembaga pendidikan tersebut sama saja, dan hanya pada mata pelajaran agama saja yang berbeda, untuk di madrasah pendidikan Agama dibagi ke dalam beberapa aspek.
Ada keunikan dan keindahan tersendiri dalam mata pelajaran Pendidikan Agama pada sekolah, baik itu Agama Islam, kristen, hindu, budha maupun konghucu, walaupun kurikulum pendidikan Agama diterbitkan oleh kementerian pendidikan, tetapi para penyusun kurikulumnya melibatkan dan atas rekomendasi kementerian Agama, selain itu seluruh kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum pendidikan Agama termasuk para pendidiknya dikeluarkan oleh dua kementerian sekaligus yaitu kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, berbeda dengan mata pelajaran lain yang dikelola secara terpisah oleh masing masing kemneterian, sesuai dengan lembaga pendidikan, dan mata pelajaran apa yang di ampunya.
Pendidik (guru) pendidikan Agama pada sekolah, status kepegawaiannya ada yang dibawah naungan pemerintah daerah dan ada yang dibawah naungan kementerian agama, namun mereka mampu berkolaboratif efektif dalam organisasi profesi yang bernama KKG PAI (kelompok kerja guru PAI) untuk jenjang SD, MGMP PAI (musyawarah guru mata pelajaran PAI) untuk SMP/SMPLB dan SMA/SMK/SMALB. Kurikulum pendidikan Agama yang digunakan adalah kurikulum yang dikeluarkan oleh kementerian pendidikan, sedangkan anggaran untuk peningkatan kompetensi guru dan pelatihan profesional serta tunjangan profesi untuk guru Pendidikan agama dikeluarkan oleh anggaran kementerian Agama, sungguh ini menjadi sebuah keunikan tersendiri dalam harmonisasi pendidikan di Indonesia yang dinamis dan beragam.
Terbitnya Peraturan Pemerintah no 32 tahun 2013 Perubahan Pertama Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan, memunculkan kurikulum tahun 2013 yang begitu booming dan masif, ada beberapa mata pelajaran yang mendapat porsi lebih pada kurikulum ini, diantaranya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, yang semula untuk tingkat SD hanya 3 jam menjadi 4 jam, untuk SMP dan SMA/SMK yang semula hanya 2 jam berubah menjadi 3 jam pelajaran, dan tentu saja ini sangat bermanfaat baik bagi peserta didik, maupun bagi pendidiknya terutama yang sudah tersertifikasi dan kekurangan jam pelajaran.
Namun dibalik manfaat yang didapat dari perubahan regulasi kurikulum tersebut, tetap menyimpan beberapa kendala teknis yang dianggap berat dan mengambang oleh sebagian praktisi pendidikan, diantaranya adalah terkait penilaian dan laporan hasil belajar yang terlalu ribet dan memakan biaya banyak.
Melihat berbagai permasalahan dan aduan dari para praktiisi pendidkan, Pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan nasional mengambil langkah strategis dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan, salah satunya dengan menerbitkan beberapa peratutan menteri terkait dengan penyempurnaan dan pelaksanaan kurikulum 2013, namun sekali lagi sepertinya belum menyentuh substansi dasar  dari problem besar penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Yaitu pendidikan yang bisa membentuk karakter dan akhlak yang mulia sekaligus recovery kebobrokan mental bangsa, yang tentu saja tidak hanya bisa diselesaikan dengan mempercantik tulisan diatas kertas saja tetapi ada action langsung yang menyentuh pada setiap peserta didik, dan disinilah peran Agama sangat diperlukan dalam mensukseskan tujuan pendidikan di Indonesia.
Peraturan pemerintah no 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan, pada  pasal 3 ayat 2 berbunyi :”Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.” Regulasi ini menjadi dasar kuat dalam penyelenggaraan pendidikan agama pada sekolah, dan seyogyanya difahami secara mendalam, bahwa khusus mata pelajaran agama termasuk pembinaan dan pengawasannya berada dalam naungan kementerian Agama, sehingga dalam hal ini kementerian pendidikan dan pemerintah daerah perannya hanya sebatas koordinasi dan fasilitator, hal ini tidak bisa dilepaskan sebab sarana  lembaga pendidikan formal baik jenjang SD, SMP, SMA/SMK, semuanya milik pemerintah daerah. Dan penyelengaraan pendidikan pada sekolah dibawah kewenangan kementerian pendidikan.
Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran, sekarang ini seperti gadis cantik nan elok yang digandrungi oleh setiap yang memandangnya, bagaimana tidak, inilah satu satunya mata pelajaran yang memiliki dimensi ukhuwah dan induk bagi tiap mata pelajaran lainnya. Pendidikan agama Islam yang di singkat dengan nama PAI, merupakan mata pelajaran yang merekatkan 3 kementerian dan pemerintah daerah sekaligus, yaitu kementerian agama sebagai ruh nya, kementerian Pendidikan sebagai mitranya, kementerian pendayagunaan aparatur negara /Menpan-RB sebagai induk regulator status kepegawaiannya, dan pemerintah daerah sebagai raga nya.
Namun disamping itu semua, mata pelajaran PAI masih dianggap mata pelajaran yang termarginalkan, bahkan tidak sedikit perlakuan dan perhatian dari pihak lembaga/sekolah sendiri tidak begitu kuat terhadap peran guru PAI, mereka ada diantara mereka hanya menggunakan peran PAI dalam momentum ceremonial saja itupun hanya sebatas pembaca doa penutup acara. Guru PAI hanya sebatas pengajar dikelas, selebihnya dimesjid/mushola sekolah, dan selesai sudah. Sungguh tragis, seakan lupa bahwa pada struktur kurikulum, bahkan dalam raport, mata pelajara PAI yang dtempatkan pada urutan matapelajaran di sekolah, namun kenyataanya seperti bumi dan langit.
Masih banyak pihak yang menganggap Mata pelajaran  selain PAI atau ada yang mengistilahkan mata pelajarn umum, seperti mata pelajaran bidang sains, dianggap mata pelajaran utama, mereka lebih bangga melihat anak/peserta didik yang berprestasi dibidang itu dibanding dengan melihat perubahan sikap siswa yang asalnya jarang ke masjid menjadi rajin ke masjid, siswa yang asalnya urakan menjadi sopan, perubahan mental siswa yang asalnya malas belajar menjadi rajin menghafal, padahal jika kita melihat tujuan pendidikan, justru perubahan mental dan kemajuan sikap itulah yang diharapkan dalam membangun karakter bangsa secara nasional. Karena jika lembaga pendidikan hanya sekedar bisa mencetak anak yang hebat dalam sains, cakap dalam seni, ataupun lancar dalam berbahasa, maka cukup melalui bimbel ataupun lembaga kursus dan sanggar teater. Pendidikan bukan sekedar cakap dan terampil secara psikomotorik namun mumpuni dalam pengetahuan dan kuat dalam akhlak serta memiliki karakter bangsa yang handal.
Perlakuan yang kurang baik terhadap guru PAI bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan masih banyak guru guru PAI yang terkategori jumud, perubahan menjadi sebuah kata yang tabu, saintifik begitu asing, inovatif tidak meiliki arti, kreatif perlu aktif, dan masih banyak hal yang membelenggu dalam diri guru PAI. Bahkan kehadiran kurikulum 2013, yang banyak mengistilahkan dengan kurikulum PAI, tidak memiliki efek yang berarti. Maka bisa diambil kesimpulan sementara, bahwa salah satu penyebab mata pelajaran PAI di sekolah kurang mendapat perhatian, kemungkinan akibat dari guru PAI yang belum optimal dalam menggunakan metode pembelajaran yang kekinian dan sesuai dengan karakter siswa.
Seiring dengan program pemerintah melalui peraturan presiden no 87 tahun 2017 dalam penguatan pendidikan karakter, maka peran PAI di sekolah menjadi semakin kuat dan menjadi sumber materi penguatan karakter peserta didik. Maka sejalan dengan program tersebut diperlukan kompetensi guru PAI yang bermutu, inovatif kreatif dan komuniaktif, tanpa kehadiran guru PAI yang bermutu.
Bahkan untuk menunjang akselerasi pencapaian target tujuan pendidikan dalam penguatan karakter bangsa serta peningkatan kompetensi guru, pemerintah telah mengeluarkan panduan 4 jenis pola peningkatan kompetensi, yaitu :
1.      Integrasi Penguatan pendidikan karakter;
2.      Literasi;
3.      pembelajaran abad 21; dan
4.      Model dan perangkat  pembelajaran berbasis HOTS (higher other thinking skill)
Ke empat strategi tersebut sebetulnya stock lama wajah baru, sebab pada intinya hanya meramu pemikiran para guru bangsa diantaranya filosofi bapak pendidikan Indonesia yaitu kihajar dewantoro, serta 4 kompetensi yang harus dimiliki guru dalam menyongsong peradaban kekinian yaitu: kritis,kreatif,kolabratif dan kominakif.
Ketika pendidik/guru enggan menerima dan tabu akan perubahan maka jangan harap keberlangsungan serta tjuan pendidikan bisa tercapai dengan optimal, maka oleh karena itu hal yang paling utama dilakukan adalah menyentuh para pendidik agar memahami dan berkeinginan untuk kritis dalam kondisi yang ada, kreatif dalam keterbatasan yang dimiliki, kolaboratif dengan seluruh potensi yang ada serta mampu mengomunikasikan secara efektif pada tiap tahap pembelajaran.
Sebagai bukti keseriusan pemerintah terhadap pentingnya mata pelajaran PAI maka lahirlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005, mengubah Direktrorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Dan sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat, yaitu :
- Sekretaris Direktorat Jenderal
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
- dan Kelompok Jabatan Fungsional.
Sejak itulah satu satunya mata pelajaran yang memiliki strukur lembaga sendiri hanya mata pelajaran PAI yang dipimpin langsung oleh pejabat esselon II ( direktur PAI ). Dan sekarang seluruh hal yang berkaitan dengan mata pelajaran PAI pada tiap jenjang mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi dikelola langsung oleh direktorat PAI kementerian Agama republik Indonesia.
Melalui kewenangan yang diamanatkan pemerintah kepada menteri agama, maka dalam hal ini kementerian agama memiliki hak mutlak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keberlangsungan pendidkan Agama di Indonesia, atas dasar ituah maka menteri Agama melalui Peraturan Menteri Agama no 2 tahun 2012 tentang pengawas madrasah dan pengawas pendidikan agama Islam pada sekolah, berhak untuk menyelenggarkan rekrutmen pengawas PAI seluruh Indonesia pada tiap jenjang sekolah, baik mereka yang status kepegawaian pemda maupun yang dari kemneterian Agama.
Maka setelah keluar peraturan tersebut, bola panas tentang peran sentral PAI ada pada tangan pengawas PAI, karena selain kepala sekolah hanya pengawas PAI yang diberikan tugas supervisi akademik  untuk melakukan penilaian, pemantauan, pembinaan, serta bimbingan dan pelatihan profesional  terhadap guru PAI. peran pengawas pula agar seorang guru PAI  bisa berubah, kritis, kreatif, kolabratif dan komunikatif.
Memang tidak semudah membalikan telapak tangan dalam melaksanakan misi yang diemban dalam merubah karakter seorang guru PAI, namun setidaknya seorang pengawas yang sudah diberikan tugas tetap harus menjaga agar kondisi tersebut tidak berlarut larut, bahkan idealnya sebelum seorang guru di bimbing tentang mendidik yang sesuai dengan standar pendidikan, maka pengawas PAI harus lebih dulu memiliki pemahaman serta integritas dan komitmen tinggi dalam meningkatkan mutu guru dan mata pelajaran PAI.
Dari awal pembahasan ini tetap berkaitan dengan kondisi yang diharapkan dalam mencapai tujuan pendidikan di Indonesia, dan di situlah peranan PAI, namun membahas mata pelajaran dan guru PAI, bagaikan 2 sisi mata uang, yang sebelah kelihatan manis dan menggiurkan namun sebelah lagi menggambarkan sebuah proses dalam pencapaiannya.
PAI sebagai mata pelajaran penopang akhlak dan karakter bangsa, tentu sangat di rindukan, namun disisi lain perhatian dan kondisi masyarakat terhadap keberadaan agama seakan tergerus akibat peraan globalisasi dan peradaban yang nyaris tanpa batas, sehingga tuntutan negara tidak lagi terhadap pengutan akhlak, tetapi bagaimana lulusan sekolah atau perguruan tinggi itu siap kerja dan memiliki skill psikomotorik saja, harapan semua semoga dengan peraturan presiden nomor 87 tahun 2017 tentang penguatan karakter seorang lulusan  diharapkan paripurna, memiliki akhlak yang cerdas, jiwa yang berkarakter dan skill yang tinggi.
PAI juga sebagai mata pelajaran di sekolah, tentunya dinaungi oleh dua kementerian berbeda, yaitu kemenag dan kemnedikbud. Hal ini tidak jarang disikapi miring oleh beberapa oknum yang kurang faham tentang regulai dan strukutr organisasi pemerintah, sehingga terkadang posisi guru PAI yang dari kementerian Agama diposisikan sebagai guru tamu atau orang asing yang pergerakannya terbatas, satu sisi wajar karena tidak masuk dalam strukutur kepegawaian pemda, namun bukan berarti hak hak dia sebagai guru PAI nya menjadi terbatas. Tentunya hal ini menjadi gambaran buruk dalam dunia pendidikan yang harus segera dicarikan solusinya.
Pun demikian apa yang dialami oleh para pengawas PAI baik yang dari dinas pendidikan yang diangkat bupati/walikota maupun yang diangkat oleh kemenag, masalah klasik adalah ketersinggungan pengawas mapel umum yang seakan tidak terima adanya pengawas PAI yang ikut mebina sekolah binaannya, hal ini kasuistik namun itulah gambaran dunia pendidikan kita, belum lagi tentang penugasan yang tidak berimbang dan sebagainya.
Hal yang paling krusial yang dialami oleh pengawas PAI adalah regulasi yang menaunginya, yaitu PMA no 2 tahun 2012, dari sini terlihat jelas bagaimana sebuah regulasi dikeluarkan tanpa koordinasi yang matang.
Antara kementerian Agama, kemenpanRB dan kemneterian pendidikan seharusnya duduk bersama sebeum regulasi yang menyangkut tiga kementerian tersebut diterbitkan, salah satu contohnya adalah tentang beban kerja seorang pengawas PAI. Tentunya banyak hal yang harus di diskusikan secara komprehensip dan sungguh sungguh, tidak sekedar memnuhi kuota anggaran kemnterian.
Dari sekian banyak tulisan hanya satu harapan dari seorang pengawas PAI, yaitu regulasi yang tepat akan menghantarkan Pengawas PAI yang profesional, pengawas PAI profesional akan menghantarkan guru PAI yang profesional, guru PAI yang profesional akan mampu mencetak anak bangsa yang berakhlak cerdas, berjiwa luas, berkarakter kuat, dan memiliki skill yang tinggi sehingga mampu mengangkat peradaban menjadi  bangsa yang maju.

wassalam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar