PERTANGGUNGJAWABAN HARTA DAN KEWAJIBAN NAFKAH
KELUARGA
*) Disampaikan pada acara
kajian Islam rutin Kab. sukabumi
A.
Pertanggungjawaban
Harta
Islam adalah ajaran hidup yang paling
sempurna untuk seluruh umat manusia, segala hal ada aturannya termasuk bahasan
mengenai harta,
Harta dalam bahasa Arab disebut al-maal yang
berasal dari kata مَالَ – يَمِيْلُ
– مَيْلاَ yang
berarti condong, cenderung, dan miring. Harta menurut syariat: segala sesuatu
yang bernilai, bisa dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang
berupa (benda dan manfaatnya).
Harta menurut ulama: sesuatu yang berwujud
dan dapat dipegang dalam penggunaan dan manfaat pada waktu yang diperlukan.
Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali. Penyebutan
berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam Al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian
khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari
kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam
kehidupannya terutama di dalam Islam.
Harta disebut al-khoir
Al-Khoir secara bahasa artinya kebaikan.
Ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menyebut harta dengan al-Khoir:
Firman Allah Swt:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
”Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan khoir (harta
yang banyak), agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 180)
Ibnu Abdil Bar menyebutkan ayat lainnya dalam al-Quran yang menyebut harta
dengan al-khoir: QS. Shad: 32, dan QS.
an-Nur: 33.
Khoir artinya baik. Lawannya Syarr,
yang artinya keburukan. Menurut al-Hakim at-Turmudzi dalam Nawadir al-Ushul,
المال
في الأصل قوام العباد في أمر دينهم، به يصلون ويصومون ويزكون ويتصدقون، فالأبدان لا
تقوم إلا بهذا المال، وأعمال الأركان لا تقوم إلا بهذا المال…فهذا المال على ما
وصفنا حقيق أن يسمى خيراً لأن الخيرات به تقوم
Harta pada asalnya merupakan pendukung bagi
para hamba untuk urusan agama mereka. Dengan harta mereka bisa shalat, puasa,
zakat, atau sedekah. fisik tidak bisa tegak kecuali dengan harta. Amal anggota
badan hanya bisa terlaksana dengan harta, karena itu harta dengan semua
karakter yang kita sebutkan, layak untuk disebut al-khoir, karena banyak
kebaikan bisa terlaksana dengan harta. (Nawadir al-Ushul, 4/91).
Harta disebut mal Allah (harta dari Allah)
Allah perintahkan agar kita membantu orang
yang membutuhkan harta, terutama budak yang ingin merdeka. Allah berfirman,
وَآَتُوهُمْ
مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ
Berikanlah kepada mereka harta Allah yang
telah Allah berikan kepada kalian. (QS. an-Nur: 33).
Allah menyebut harta dalam ayat di atas
dengan mal Allah (harta Allah). Agar kita memahami bahwa harta itu amanah yang
diberikan Allah kepada kita, sehingga jangan sampai harta itu disia-siakan.
Perilaku terhadap harta
Larangan israf dan tabdzir Allah berfirman,
وَلَا
تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
Janganlah melakukan tindakan tabdzir,
sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan. (QS.
al-Isra: 26-27).
Allah juga berfirman,
وَلَا
تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Janganlah bersikap boros, sesungguhnya Allah
tidak mencintai orang yang boros.
(QS. al-An’am: 141)
Harta peningkatan taqwa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى اللهَ
Tidak masalah adanya kekayaan bagi orang yang
bertaqwa. (Ahmad 23158 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Bahkan ketika kita hendak memberikan harta ke
orang lain, upayakan lebih dahulu memilih orang yang bertaqwa. Dari Abu Said
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
Jangan mengambil teman dekat kecuali orang
mukmin, dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertaqwa. (HR. Ahmad
11337 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Hadis ini tidaklah menunjukkan bahwa kita
dilarang memberi makan orang yang tidak bertaqwa. Kita boleh memberi makan
orang kafir, sebagaimana Allah memuji muslim yang memberi makan tawanan. Dan
tawanan bagi para sahabat adalah orang kafir. Allah berfirman,
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Mereka memberi makanan yang paling dia sukai
kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (QS. al-Insan: 8)
Perbanyaklah berteman dekat dengan orang yang
bertaqwa. Karena ketika hartam kita lari keluar, penerimanya adalah kawan dekat
kita.
Harta adalah ujian dan dihisab
Sedikit orang yang selamat ketika ia diberi
amanah harta. Allah SWT berfirman,
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ
عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” (QS:Al-Anfaal | Ayat: 28).
«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي
الْمَالُ»
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada
fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.[9]
Harta melimpah yang dimiliki, itu semua
adalah amanah dari Allah swt. yang
kelak dipertanggungjawabkan. Namun sayangnya, banyak orang tidak menaruh
perhatian besar terhadap permasalahan ini. Perhatian mereka hanya tertuju
bagaimana agar memperoleh uang yang banyak. Nabi saw
bersabda,
“Akan
datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli
dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram” (HR.
al-Bukhari).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat menekankan agar umatnya mencari harta yang halal. Pasalnya, ada dua
pertanyaan yang terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan
bagaimana membelanjakannya. Dalam hadits Abu Barzah Al Aslami Radhiyallahu
‘anhu, beliau bersabda:
لَا
تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ
عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ
أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ
“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba
pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang
umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang
hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang
ilmunya, apakah yang telah ia amalkan” . [HR At Tirmidzi dan Ad Darimi].
Dua pertanyaan untuk harta, mari kita
introspeksi apakah harta kita diperoleh dari hal yang halal, atau hasil menipu,
memanipulasi, mengintimidasi, selanjutnya apakah harta kita dimanfaatkan kepada
hal hal yang manfaat sesuai ketentuan syara’ atau sebaliknya hanya untuk
kepuasan gengsi dan duniawi saja.
Demikian pula hadits Jabir Radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Janganlah menganggap rezki kalian lambat
turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan
setelah sempurna rezkinya. Carilah rezki dengan cara yang baik (dengan)
mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram”. [ HR Hakim dan
AlBaihaqi hadits Shohih ]
Ada pula bentuk yang lainnya, yakni pelit. Seseorang menahan
hartanya dan tidak mengeluarkannya, walaupun untuk kebutuhan diri sendiri, atau untuk istrinya, anaknya, dan
kerabatnya. Allah mencela yang demikian dalam ayat Alquran.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ
بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى*
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala
terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”
(QS:Al-Lail | Ayat: 5-10).
وَلا
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ
خَيْراً لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang
bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu
adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS:Ali Imran | Ayat: 180).
Allah SWT jadikan harta-harta mereka tersebut
dikalungkan di leher-leher mereka. kalung yang mereka bawa, menjadi adzab untuk
mereka di neraka. Baik harta tersebut banyak maupun sedikit.
“Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS:At-Taubah
| Ayat: 34-35).
Maksud dari “orang-orang yang menyimpan emas
dan perak” yaitu mereka yang tidak mengeluarkan zakatnya. Adapun orang yang
mengeluarkan zakat harta, mereka tidak termasuk dalam ayat ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyampaikan ancaman
terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّهُ
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta
yang haram. Neraka lebih pantas untuknya”. [HR Ahmad dan Ad Darimi].
Perbanyaklah sedekah…. Perbanyaklah Infaq……
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan
(sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang
sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39).
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا
بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»
“Tidaklah
sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba
dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah
seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan
(derajat)nya”
Tunaikan Zakatnya jika sudah Nishob dan
haulnya agar harta itu bertambah, mendatangkan kebaikan, rahmat dan barokahnya
bagi usahanya dan bagi pemiliknya sekeluarga, juga sebagai pembersih dari
perkara subhat yang mungkin saja ada
pada harta kita.
Wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan
tanggung jawab ini. Hendaknya mereka mengecek, adakah harta yang belum
terzakati. Mereka cek pekerjaan mereka. sumber pencarian mereka. dan kemana
penghasilan itu dikeluarkan. Apakah menuju yang halal atau yang haram. Jangan
biarkan harta mereka masuk dalam investasi yang haram. Sebagian orang ada
terkadang masuk ke dalam sesuatu yang haram tanpa ia sadari, ia sebut hal itu
sebagai investasi. Maka hartanya pun dikeluarkan untuk sesuatu yang haram.
Masuk pada muamalah yang tidak diperbolehkan.
B.
Kewajiban
Nafkah Keluarga
Salah satu hal yang paling penting dalam
pengeleolaaan harta sesuai dengan perintah Allah swt adalah pemanfaatan harta
untuk kepentingan keluarga.
Definisi Nafkah
Kata nafkah berasal dari bahasa
Arab yakni anfaqa – yunfiqu- infaqan yang berarti الإخراج kata ini tidak digunakan kecuali untuk yang
baik saja. Adapun bentuk jama‟-nya النفقة (nafakah) artinya sesuatu yang dibelanjakan
sehingga habis tidak tersisa.
bahwa asal kata nafaqa menunjuk kepada
beberapa makna yang hampir bersamaan yaitu habis, hilang, laris terjual, mati.
Sedangkan secara istilah syari’at artinya;
mencukupi kebutuhan siapapun yang ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman
pakaian, atau tempat tinggal.
Dasar Hukum Nafkah
Nafkah merupakan kewajiban yang harus
ditunaikan oleh suami kepada isteri sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur‟an,
sunnah, dan ijma‟. Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkan sebagai mana
yang terdapat dalam al-Qur‟an adalah:
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ
إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
(Al-Baqarah: 233)
Selanjutnya ayat lain lebih menegaskan:
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ
اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ
“Hendaklah
orang yang mampu member nafkah menurut kemampuannya. Dan orang-orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan sesuai dengan
kadar apa yang Allah berikan kepadanya.” 11 (al-Thalaq: 7)
1.
Kewajiban menafkahi sebab
pernikahan
Seorang laki- laki jika menikahi seorang wanita, maka wajib baginya
memberinya nafkah, hal ini didasari oleh beberapa hal:
Allah berfirman:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
‘’Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah
228)
Ibnu Katsir berkata,’’maksudnya, para istri
mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang
diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya
dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah
istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya .’’
(Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)
Rasulullah bersabda;
وَلَهُنَّ
عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
‘’Dan mereka (para istri)
mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu
sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).
Para ulama bersepakat atas kewajiban seorang
suami memberi nafkah istrinya, seperti yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu
Hazm, Ibnu Qudamah dan lainnya.
Catatan: Tidak menjadi suatu kewajiban
seorang suami, jika sang istri menolak, atau keluarga wanita tersebut
menghalangi sang suami untuk mendekati dan berhubungan dengan istrinya, hal itu
lantaran kewajiban suami memberi nafkah sebagai timbal- balik dari manfaat yang
diberikan sang istri
2.
Kadar besaran nafkah
terhadap istri
Para fuqoha (ahli fiqih) bersepakat bahwa
ukuran yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah yang makruf/ yang patut atau
wajar, sedangkan mayoritas pengikut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, mereka
membatasi yang wajib adalah yang sekiranya cukup untuk kebutuhan sehari- hari,
dan kecukupan itu berbeda- beda menurut perbedaan kondisi suami dan istri,
kemudian hakim-lah yang memutuskan perkara jika ada perselisihan. Hal ini
dedasari oleh firman Allah;
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ
إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
‘’Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf,
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah
233)
Kadar nafkah untuk kecukupan keluarga dalam
kehidupan sehari- hari dengan cara yang wajar telah ditegaskan oleh Rasulullah,
ketika Hindun bintu Itbah melaporkan yang suaminya yang sangat kikir, beliau
bersabda;
خُذِي مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
‘’Ambil-lah
nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.’’
(HR.Bukhori 4945)
Pendapat pertama: Besaran nafkah harus
dilihat kondisi sang istri, ini adalah madzhab maliki, berdasarkan firman
Allah;
‘’Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233)
Pendapat kedua: besaran nafkah harus dilihat
kondisi sang suami, ini adalah riwayat madzhab hanafi dan Syafii yang lebih
terkenal, dan hal ini didasari oleh firman-Nya;
‘’Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.’’(QS.
ath-Thalaq [65]: 7)
Pendapat ke tiga: besaran nafkah ditentukan
menurut kondisi keduanya (suami istri), ini adalah madzhab Hanbali dan
demikianlah yang difatwakan oleh segenap ulama madzhab Hanafi.
3.
Jenis Nafkah kepada istri
·
Kewajiban menempatkan istri
di rumah yang layak
Wajib bagi seorang suami untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal istrinya dengan layak , hal ini telah disepakati oleh
para ulama, sebagaimana firman- Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
‘’Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)
Keterangan: termasuk mempergauli istri dengan
cara yang patut adalah menempatkan istri dirumah yang patut/layak baginya,
sebab istri membutuhkan tempat tinggal yang dapat dipakai beristirahat,
bersenang- senang dengan suaminya dan menutupi auratnya dari pandangan manusia,
serta untuk menjaga hartanya, termasuk menyediakan pembantu rumah tangga jika
hal tersebut diininkan oleh istri. Hanya saja tempat tinggalnya disesuaikan
dengan kemampuan sang suami, sebab Allah berfirman;
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.’’ (QS.At-Thalaq 6)
·
Suami memenuhi kebutuhan
istri sesuai ‘urf/adat setempat
Jika suami mampu (lihat QS.At-Thalaq 6 di
atas), maka wajib baginya memenuhi kebutuhan istrinya sesuai dengan ‘urf/ adat
setempat, (karena hal ini termasuk dalam QS.an-Nisa’ 19).
·
Nafkah setelah perceraian
Wanita
yang ditalak suaminya tidak lepas dari dua kondisi:
Pertama,
wanita yang dicerai tetapi talaknya masih raj’iy (talak satu atau talak
dua) yang masih dalam masa iddah, maka para ulama sepakat bahwa dia masih
berhak nafkah dari suaminya, sebab dia statusnya masih sebagai istri yang sah,
dengan bukti selagi belum habis masa iddahnya suami boleh merujuknya,
sebagaimana Allah menyebutnya sebagai suami yang sah dalam firman-Nya;
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ
فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
‘’Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti (iddah) itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah/ perbaikan.’’ (QS.Al-Baqarah 228)
Kedua, wanita yang dicerai suaminya dengan talak
ba’in sughro (talak satu atau dua) dan telah habis masa iddah, atau talak ba’in
kubro (talak tiga).
Kondisi
kedua ini terbagi menjadi dua keadaan;
a.
Jika wanita tersebut dalam
kondisi hamil maka para ulama sepakat dia berhak mendapatkan nafkah dari mantan
suaminya karena nafkah tersebut buat sang janin milik ayahnya, Allah berfirman;
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا
عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
‘’Dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)
b.
Tetapi jika wanita (yang
ditalak ba’in) tersebut tidak hamil, maka para ulama berbeda pendapat tentang
kewajiban nafkah atas mantan suaminya, dan pendapat yang kuat adalah tidak ada
kewajiban bagi mantan suami untuk menafkahi wanita yang telah ditalak ba’in, hal ini didasari oleh sebuah hadits dari
Fathimah binti Qois dari Rasulullah, beliau bersabda tentang wanita yang
ditalak ba’in;
لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَلَا نَفَقَةٌ
‘’Tidak ada hak tempat tinggal dan nafkah
baginya.’’ (HR.Muslim 2717)
·
Gugur kewajiban
menafkahi istri yang durhaka
Nusyuz (النشوز )
dalam kata lain durhaka, adalah sebab gugurnya kewajiban suami terhadap
istrinya dalam hal nafkah, apabila istri durhaka, tidak menaati suaminya dan
tidak menuruti keinginan suaminya dalam hal yang bukan kemaksiatan, maka
gugurlah kewajiban suami untuk memberi nafkah istrinya sampai sang istri
kembali ta’at kepada suaminya.
·
istri boleh mengambil harta
suami
Jika
suami tidak memenuhi kebutuhan istri baik makanan, minuman, atau pakaian,
padahal ia mampu, maka boleh bagi sang istri mengambil harta suaminya tanpa
mendapat izin darinya, tetapi yang diambil hanya sekedar nafkah yang cukup buat
keluarga dengan secara patut tidak boleh berlebihan, hal ini didasari oleh
sebuah hadits dari Aisyah beliau berkata;
أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي
وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ
وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Bahwasanya
Hindun bintu ‘Itbah berkata,’’Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah
orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak-
anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,’’ maka
(Rasulullah) mengatakan,’’ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu
dengan cara yang patut.’’ (HR.Bukhori 4945)
·
Sikap istri Jika suami
tidak mampu menafkahi
Jika
suami tidak mampu menafkahi istrinya maka para ulama berbeda pendapat tentang
boleh dan tidaknya istri menuntut perpisahan dengan suaminya;
Pendapat
pertama: istri tidak berhak menuntut perpisahan dengan suaminya, tetapi harus
bersabar dan suami harus berusaha semaksimal mungkin walaupun harus berhutang. Hal
ini didasari oleh firman Allah;
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ
مَيْسَرَةٍ ۚ
‘’Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.’’ (QS.Al-Baqarah 280)
Pendapat
ke dua: istri berhak memilih antara bersabar dan menunggu usaha suaminya, atau
menuntut perpisahan dengan suaminya, hal ini didasari oleh firman Allah;
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ ۗ
‘’(Seorang Suami) boleh menahan/ rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
(istrinya) dengan cara yang baik’’. (QS.al-Baqarah 229)
Ayat di
atas menjelaskan bahwa wanita boleh ditahan (tidak dicerai), atau boleh juga
dicerai tetapi keduanya harus dengan cara yang patut/baik, sedangkan menahan
istri dalam keadaan kurang nafkah atau tidak ada nafkahnya, bukan termasuk
menahan istri dengan cara yang patut, sehingga boleh bagi sang istri memilih.
Pendapat
yang kuat: Pendapat kedua ini yang lebih mendekati kebenaran, dan dikuatkan
oleh beberapa hal:
Ada
sebuah hadits dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah bersabda tentang
kewajiban suami menafkahi istrinya;
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ
إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي
‘’Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang
menjadi tanggunganmu, (kalau tidak) maka istrimu akan mengatakan, nafkahilah
aku atau ceraikan aku.’’ (HR.Bukhori 4936)
Berkata
Ibnul Mundzir,’’Telah sah bahwa Umar bn Khotob memerintahkan para tentara (yang
bepergian) untuk tetap memberi nafkah, kalau tidak maka harus menceraikan
istrinya”
·
Suami Yang Bakhil
Tentang
suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat ancaman baginya.
Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ
مَنْ يَقُوْتُ
“Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang
menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
Juga
sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيْهِ
إلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلَ أحَدُهُمَا : اللهُمَّ أعْطِ مُنْفْقًا خَلَفًا،
وَ يَقُوْلُ الآخَرُ: اللهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi,
melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya,
Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih
baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan
kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya).”[24]
·
Nafkah anak setelah
bercerai
Ketika terjadi perceraian dan masa iddah
sudah selesai, wanita yang dulunya menjadi istri, kini berubah status menjadi
mantan istri. Tali pernikahan sudah putus, bukan lagi suami-istri. Sehingga dia
tidak wajib dinafkahi oleh mantan suaminya.
Namun hak nafkah bagi anak, tidak putus,
sehingga ayah tetap berkewajiban menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun
anak itu tinggal bersama mantan istrinya.
Imam Ibnul Mundzir mengatakan,
وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
, عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ
لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا
يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ
وَأَصْلِه
Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang
lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak
memiliki harta. Karena anak seseorang adalah darah dagingnya, dia bagian dari
orang tuanya. Sebagaimana dia berkewajiban memberi nafkah untuk dirinya dan
keluarganya, dia juga berkewajiban memberi nafkah untuk darah dagingnya.
(al-Mughni, 8/171).
3.
Kewajiban menafkahi sebab hubungan
kerabat
Kewajiban
menafkahi tidak hanya kepada istri, tetapi kepada para kerabat juga wajib (jika
terpenuhi syarat- syaratnya), seperti menafkahi anak- anaknya, atau orang
tuanya, hal ini didasari oleh beberapa dalal, diantaranya;
Seperti
Firman Allah tentang kewajiban seorang ayah menafkahi istri yang telah dicerai
dalam keadaan hamil, dan nafkah tersebut adalah untuk sang anak;
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا
عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
‘’Dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)
Lebih
diperjelas kewajiban seorang ayah memberi nafkah kepada anak- anaknya, dalam
hadits kisah Hindun bintu Itbah diatas (HR.Bukhori 4945)
Adapun kewajiban
seseorang menafkahi orang tua dan kerabatnya, maka ditunjukkan oleh keumuman
ayat- ayat al-Qur’an tentang perintah berbakti kepada orang tua (seperti firman
Allah QS.al-Isra’ 23, dan 26) dan kebih jelas lagi seperti dalam hadits;
وابدأ بمن تعول : أمك وأباك وأختك وأخاك أدناك
أدناك
‘’Mulailah
(memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, Ibumu, ayahmu,
saudarimu, saudaramu, dan seterusnya.’’
·
Menafkahi kerabat menjadi wajib jika terpenuhi syaratnya
Kewajiban menafkahi para kerabat menjadi
wajib jika terpenuhi syarat- syaratnya, diantaranya:
Jika kerabat tersebut (orang tua, saudara
dan lainnya) dalam keadaan faqir/ miskin tidak mampu menafkahi diri mereka
sendiri, dan tidak ada orang lain yang menafkahi mereka. Tetapi jika mereka
mampu, atau ada orang lain menafkahi
mereka, maka gugurlah kewajiban ini.
·
Jika seseorang mempunyai kelebihan setelah menafkahi diri
dan yang ditanggugngnya, Rasulullah bersabda;
ابْدأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ
فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ
‘’Mulailah
menafkahi dirimu sendiri, jika tersisa, maka untuk anggota keluargamu, jika
tersisa, maka untuk kerabat dekatmu.’’ (HR.Muslim 1663)
Catatan;
Adapun kadar besaran nafkah kepada kerabat adalah sama dengan kadar besaran
nafkah kepada ustri yaitu mencukupi kebutuhan mereka dengan cara yang patut
sesuai kemampuan.
Seputar
harta bersama
·
Hukum Islam tidak melihat adanya harta bersama. Hukum Islam
lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Apa yang
dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang
dihasilkan istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami
memberikan sebagian hartanya itu kepada istrinya atas nama nafkah, yang untuk
selanjutnya digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada
penggabungan harta, kecuali dalam bentuk syirkah, yang untuk itu dilakukan
dalam suatu akad khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap
terpisah.
·
Diterapkannya konsep harta bersama, maka nafkah menjadi
tanggungjawab bersama suami istri. Nafkah bisa saja menjadi kewajiban suami,
namun harus diterapkan pemisahan harta suami istri dalam perkawinan, atau
dengan dengan mengkompromikan antara harta bersama dan kewajiban suami memberi
nafkah. Ini dilakukan dengan memberi penambahan aturan dalam Pasal 80 KHI
mengenai jenis harta yang dapat dipakai untuk memberi nafkah, yaitu harta
pribadi dan atau harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
Maraji:
Mushaf Tafhim al-quran darul ‘amal
Abdurrahman al-Jaziri,
kitab al-Fiqh „ala Madzhabi al-Arba‟ah, Beirut: Dar -al-Kutub
al-„Ilmiyah, 1986.
Achmad Kuzari, Nikah
Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar