Rabu, 04 April 2018

HARTA DAN NAFKAH KELUARGA ISLAMI

iahidarya | 18.55 |

PERTANGGUNGJAWABAN HARTA DAN KEWAJIBAN NAFKAH KELUARGA
*) Disampaikan pada acara kajian Islam rutin Kab. sukabumi

A.   Pertanggungjawaban Harta
Islam adalah ajaran hidup yang paling sempurna untuk seluruh umat manusia, segala hal ada aturannya termasuk bahasan mengenai harta,
Harta dalam bahasa Arab disebut al-maal yang berasal dari kata مَالَ – يَمِيْلُ – مَيْلاَ yang berarti condong, cenderung, dan miring. Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).
Harta menurut ulama: sesuatu yang berwujud dan dapat dipegang dalam penggunaan dan manfaat pada waktu yang diperlukan. Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam Al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.

Harta disebut al-khoir
Al-Khoir secara bahasa artinya kebaikan. Ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menyebut harta dengan al-Khoir:
Firman Allah Swt:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
”Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan khoir (harta yang banyak), agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 180)
Ibnu Abdil Bar menyebutkan  ayat lainnya dalam al-Quran yang menyebut harta dengan al-khoir:  QS. Shad: 32, dan QS. an-Nur: 33.
Khoir artinya baik. Lawannya Syarr, yang artinya keburukan. Menurut al-Hakim at-Turmudzi dalam Nawadir al-Ushul,
المال في الأصل قوام العباد في أمر دينهم، به يصلون ويصومون ويزكون ويتصدقون، فالأبدان لا تقوم إلا بهذا المال، وأعمال الأركان لا تقوم إلا بهذا المال…فهذا المال على ما وصفنا حقيق أن يسمى خيراً لأن الخيرات به تقوم
Harta pada asalnya merupakan pendukung bagi para hamba untuk urusan agama mereka. Dengan harta mereka bisa shalat, puasa, zakat, atau sedekah. fisik tidak bisa tegak kecuali dengan harta. Amal anggota badan hanya bisa terlaksana dengan harta, karena itu harta dengan semua karakter yang kita sebutkan, layak untuk disebut al-khoir, karena banyak kebaikan bisa terlaksana dengan harta. (Nawadir al-Ushul, 4/91).

Harta disebut mal Allah (harta dari Allah)
Allah perintahkan agar kita membantu orang yang membutuhkan harta, terutama budak yang ingin merdeka.  Allah berfirman,
وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ
Berikanlah kepada mereka harta Allah yang telah Allah berikan kepada kalian. (QS. an-Nur: 33).
Allah menyebut harta dalam ayat di atas dengan mal Allah (harta Allah). Agar kita memahami bahwa harta itu amanah yang diberikan Allah kepada kita, sehingga jangan sampai harta itu disia-siakan.

Perilaku terhadap harta
Larangan israf dan tabdzir Allah berfirman,
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
Janganlah melakukan tindakan tabdzir, sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan. (QS. al-Isra: 26-27).
Allah juga berfirman,
وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Janganlah bersikap boros, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang boros.
(QS. al-An’am: 141)

Harta peningkatan taqwa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى اللهَ
Tidak masalah adanya kekayaan bagi orang yang bertaqwa. (Ahmad 23158 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Bahkan ketika kita hendak memberikan harta ke orang lain, upayakan lebih dahulu memilih orang yang bertaqwa. Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

Jangan mengambil teman dekat kecuali orang mukmin, dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertaqwa. (HR. Ahmad 11337 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Hadis ini tidaklah menunjukkan bahwa kita dilarang memberi makan orang yang tidak bertaqwa. Kita boleh memberi makan orang kafir, sebagaimana Allah memuji muslim yang memberi makan tawanan. Dan tawanan bagi para sahabat adalah orang kafir. Allah berfirman,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Mereka memberi makanan yang paling dia sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (QS. al-Insan: 8)
Perbanyaklah berteman dekat dengan orang yang bertaqwa. Karena ketika hartam kita lari keluar, penerimanya adalah kawan dekat kita.

Harta adalah ujian dan dihisab

Sedikit orang yang selamat ketika ia diberi amanah harta. Allah SWT berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS:Al-Anfaal | Ayat: 28).
«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.[9]

Harta melimpah yang dimiliki, itu semua adalah amanah dari Allah swt. yang kelak dipertanggungjawabkan. Namun sayangnya, banyak orang tidak menaruh perhatian besar terhadap permasalahan ini. Perhatian mereka hanya tertuju bagaimana agar memperoleh uang yang banyak. Nabi saw bersabda,
 Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram” (HR. al-Bukhari).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan agar umatnya mencari harta yang halal. Pasalnya, ada dua pertanyaan yang terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan bagaimana membelanjakannya. Dalam hadits Abu Barzah Al Aslami Radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ
“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan” . [HR At Tirmidzi dan Ad Darimi].

Dua pertanyaan untuk harta, mari kita introspeksi apakah harta kita diperoleh dari hal yang halal, atau hasil menipu, memanipulasi, mengintimidasi, selanjutnya apakah harta kita dimanfaatkan kepada hal hal yang manfaat sesuai ketentuan syara’ atau sebaliknya hanya untuk kepuasan gengsi dan duniawi saja.
Demikian pula hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
Janganlah menganggap rezki kalian lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezkinya. Carilah rezki dengan cara yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram”. [ HR Hakim dan AlBaihaqi hadits Shohih ]
Ada pula bentuk yang lainnya, yakni pelit. Seseorang menahan hartanya dan tidak mengeluarkannya, walaupun untuk kebutuhan diri sendiri, atau untuk istrinya, anaknya, dan kerabatnya. Allah mencela yang demikian dalam ayat Alquran.

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS:Al-Lail | Ayat: 5-10).

وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS:Ali Imran | Ayat: 180).

Allah SWT jadikan harta-harta mereka tersebut dikalungkan di leher-leher mereka. kalung yang mereka bawa, menjadi adzab untuk mereka di neraka. Baik harta tersebut banyak maupun sedikit.
 Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS:At-Taubah | Ayat: 34-35).

Maksud dari “orang-orang yang menyimpan emas dan perak” yaitu mereka yang tidak mengeluarkan zakatnya. Adapun orang yang mengeluarkan zakat harta, mereka tidak termasuk dalam ayat ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyampaikan ancaman terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya”. [HR Ahmad dan Ad Darimi].
Perbanyaklah sedekah…. Perbanyaklah Infaq……
Allah Ta’ala berfirman,

 Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39).

Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»

Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya

Tunaikan Zakatnya jika sudah Nishob dan haulnya agar harta itu bertambah, mendatangkan kebaikan, rahmat dan barokahnya bagi usahanya dan bagi pemiliknya sekeluarga, juga sebagai pembersih dari perkara  subhat yang mungkin saja ada pada harta kita.

Wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan tanggung jawab ini. Hendaknya mereka mengecek, adakah harta yang belum terzakati. Mereka cek pekerjaan mereka. sumber pencarian mereka. dan kemana penghasilan itu dikeluarkan. Apakah menuju yang halal atau yang haram. Jangan biarkan harta mereka masuk dalam investasi yang haram. Sebagian orang ada terkadang masuk ke dalam sesuatu yang haram tanpa ia sadari, ia sebut hal itu sebagai investasi. Maka hartanya pun dikeluarkan untuk sesuatu yang haram. Masuk pada muamalah yang tidak diperbolehkan.


B.   Kewajiban Nafkah Keluarga

Salah satu hal yang paling penting dalam pengeleolaaan harta sesuai dengan perintah Allah swt adalah pemanfaatan harta untuk kepentingan keluarga.

Definisi Nafkah
 Kata nafkah berasal dari bahasa Arab yakni anfaqa – yunfiqu- infaqan yang berarti الإخراج   kata ini tidak digunakan kecuali untuk yang baik saja. Adapun bentuk jama‟-nya النفقة   (nafakah) artinya sesuatu yang dibelanjakan sehingga habis tidak tersisa.
bahwa asal kata nafaqa menunjuk kepada beberapa makna yang hampir bersamaan yaitu habis, hilang, laris terjual, mati.
Sedangkan secara istilah syari’at artinya; mencukupi kebutuhan siapapun yang ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman pakaian, atau tempat tinggal.

Dasar Hukum Nafkah

Nafkah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami kepada isteri sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur‟an, sunnah, dan ijma‟. Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkan sebagai mana yang terdapat dalam al-Qur‟an adalah:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 233)
Selanjutnya ayat lain lebih menegaskan:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ
Hendaklah orang yang mampu member nafkah menurut kemampuannya. Dan orang-orang yang disempitkan rezekinya hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan sesuai dengan kadar apa yang Allah berikan kepadanya.” 11 (al-Thalaq: 7)

1.    Kewajiban menafkahi sebab pernikahan
Seorang laki- laki jika menikahi seorang wanita, maka wajib baginya memberinya nafkah, hal ini didasari oleh beberapa hal:
Allah berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
‘’Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah 228)

Ibnu Katsir berkata,’’maksudnya, para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya .’’  (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)

Rasulullah bersabda;
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
‘’Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).

Para ulama bersepakat atas kewajiban seorang suami memberi nafkah istrinya, seperti yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah dan lainnya.

Catatan: Tidak menjadi suatu kewajiban seorang suami, jika sang istri menolak, atau keluarga wanita tersebut menghalangi sang suami untuk mendekati dan berhubungan dengan istrinya, hal itu lantaran kewajiban suami memberi nafkah sebagai timbal- balik dari manfaat yang diberikan sang istri

2.    Kadar besaran nafkah terhadap istri

Para fuqoha (ahli fiqih) bersepakat bahwa ukuran yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah yang makruf/ yang patut atau wajar, sedangkan mayoritas pengikut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, mereka membatasi yang wajib adalah yang sekiranya cukup untuk kebutuhan sehari- hari, dan kecukupan itu berbeda- beda menurut perbedaan kondisi suami dan istri, kemudian hakim-lah yang memutuskan perkara jika ada perselisihan. Hal ini dedasari oleh firman Allah;

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233)

Kadar nafkah untuk kecukupan keluarga dalam kehidupan sehari- hari dengan cara yang wajar telah ditegaskan oleh Rasulullah, ketika Hindun bintu Itbah melaporkan yang suaminya yang sangat kikir, beliau bersabda;
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
‘’Ambil-lah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.’’ (HR.Bukhori 4945)

Pendapat pertama: Besaran nafkah harus dilihat kondisi sang istri, ini adalah madzhab maliki, berdasarkan firman Allah;
 Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (QS.al-Baqarah 233)

Pendapat kedua: besaran nafkah harus dilihat kondisi sang suami, ini adalah riwayat madzhab hanafi dan Syafii yang lebih terkenal, dan hal ini didasari oleh firman-Nya;

 Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.’’(QS. ath-Thalaq [65]: 7)

Pendapat ke tiga: besaran nafkah ditentukan menurut kondisi keduanya (suami istri), ini adalah madzhab Hanbali dan demikianlah yang difatwakan oleh segenap ulama madzhab Hanafi.

3.    Jenis  Nafkah kepada istri

·         Kewajiban menempatkan istri di rumah yang layak

Wajib bagi seorang suami untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal istrinya dengan layak , hal ini telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana firman- Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
Dan bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)

Keterangan: termasuk mempergauli istri dengan cara yang patut adalah menempatkan istri dirumah yang patut/layak baginya, sebab istri membutuhkan tempat tinggal yang dapat dipakai beristirahat, bersenang- senang dengan suaminya dan menutupi auratnya dari pandangan manusia, serta untuk menjaga hartanya, termasuk menyediakan pembantu rumah tangga jika hal tersebut diininkan oleh istri. Hanya saja tempat tinggalnya disesuaikan dengan kemampuan sang suami, sebab Allah berfirman;
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.’’ (QS.At-Thalaq 6)

·         Suami memenuhi kebutuhan istri sesuai ‘urf/adat setempat

Jika suami mampu (lihat QS.At-Thalaq 6 di atas), maka wajib baginya memenuhi kebutuhan istrinya sesuai dengan ‘urf/ adat setempat, (karena hal ini termasuk dalam QS.an-Nisa’ 19).

·         Nafkah setelah perceraian

Wanita yang ditalak suaminya tidak lepas dari dua kondisi:
Pertama, wanita yang dicerai tetapi talaknya masih raj’iy (talak satu atau talak dua) yang masih dalam masa iddah, maka para ulama sepakat bahwa dia masih berhak nafkah dari suaminya, sebab dia statusnya masih sebagai istri yang sah, dengan bukti selagi belum habis masa iddahnya suami boleh merujuknya, sebagaimana Allah menyebutnya sebagai suami yang sah dalam firman-Nya;

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
‘’Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti (iddah) itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah/ perbaikan.’’ (QS.Al-Baqarah 228)

Kedua,  wanita yang dicerai suaminya dengan talak ba’in sughro (talak satu atau dua) dan telah habis masa iddah, atau talak ba’in kubro (talak tiga).

Kondisi kedua ini terbagi menjadi dua keadaan;

a.     Jika wanita tersebut dalam kondisi hamil maka para ulama sepakat dia berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya karena nafkah tersebut buat sang janin milik ayahnya, Allah berfirman;

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)

b.    Tetapi jika wanita (yang ditalak ba’in) tersebut tidak hamil, maka para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban nafkah atas mantan suaminya, dan pendapat yang kuat adalah tidak ada kewajiban bagi mantan suami untuk menafkahi wanita yang telah ditalak bain, hal ini didasari oleh sebuah hadits dari Fathimah binti Qois dari Rasulullah, beliau bersabda tentang wanita yang ditalak ba’in;

لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَلَا نَفَقَةٌ
‘’Tidak ada hak tempat tinggal dan nafkah baginya.’’ (HR.Muslim 2717)

·         Gugur kewajiban menafkahi  istri yang durhaka

Nusyuz (النشوز ) dalam kata lain durhaka, adalah sebab gugurnya kewajiban suami terhadap istrinya dalam hal nafkah, apabila istri durhaka, tidak menaati suaminya dan tidak menuruti keinginan suaminya dalam hal yang bukan kemaksiatan, maka gugurlah kewajiban suami untuk memberi nafkah istrinya sampai sang istri kembali ta’at kepada suaminya.

·         istri boleh mengambil harta suami

Jika suami tidak memenuhi kebutuhan istri baik makanan, minuman, atau pakaian, padahal ia mampu, maka boleh bagi sang istri mengambil harta suaminya tanpa mendapat izin darinya, tetapi yang diambil hanya sekedar nafkah yang cukup buat keluarga dengan secara patut tidak boleh berlebihan, hal ini didasari oleh sebuah hadits dari Aisyah beliau berkata;

أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Bahwasanya Hindun bintu ‘Itbah berkata,’’Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak- anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,’’ maka (Rasulullah) mengatakan,’’ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu dengan cara yang patut.’’ (HR.Bukhori 4945)

·         Sikap istri Jika suami tidak mampu menafkahi

Jika suami tidak mampu menafkahi istrinya maka para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya istri menuntut perpisahan dengan suaminya;

Pendapat pertama: istri tidak berhak menuntut perpisahan dengan suaminya, tetapi harus bersabar dan suami harus berusaha semaksimal mungkin walaupun harus berhutang. Hal ini didasari oleh firman Allah;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ
‘’Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.’’ (QS.Al-Baqarah 280)

Pendapat ke dua: istri berhak memilih antara bersabar dan menunggu usaha suaminya, atau menuntut perpisahan dengan suaminya, hal ini didasari oleh firman Allah;
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ
‘’(Seorang Suami) boleh menahan/ rujuk  dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan (istrinya) dengan cara yang baik’’. (QS.al-Baqarah 229)

Ayat di atas menjelaskan bahwa wanita boleh ditahan (tidak dicerai), atau boleh juga dicerai tetapi keduanya harus dengan cara yang patut/baik, sedangkan menahan istri dalam keadaan kurang nafkah atau tidak ada nafkahnya, bukan termasuk menahan istri dengan cara yang patut, sehingga boleh bagi sang istri memilih.

Pendapat yang kuat: Pendapat kedua ini yang lebih mendekati kebenaran, dan dikuatkan oleh beberapa hal:

Ada sebuah hadits dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah bersabda tentang kewajiban suami menafkahi istrinya;

وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي
‘’Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, (kalau tidak) maka istrimu akan mengatakan, nafkahilah aku atau ceraikan aku.’’ (HR.Bukhori 4936)

Berkata Ibnul Mundzir,’’Telah sah bahwa Umar bn Khotob memerintahkan para tentara (yang bepergian) untuk tetap memberi nafkah, kalau tidak maka harus menceraikan istrinya”

·         Suami Yang Bakhil
Tentang suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat ancaman baginya. Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ

Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيْهِ إلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلَ أحَدُهُمَا : اللهُمَّ أعْطِ مُنْفْقًا خَلَفًا، وَ يَقُوْلُ الآخَرُ: اللهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya).”[24]

·         Nafkah anak setelah bercerai

Ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai, wanita yang dulunya menjadi istri, kini berubah status menjadi mantan istri. Tali pernikahan sudah putus, bukan lagi suami-istri. Sehingga dia tidak wajib dinafkahi oleh mantan suaminya.

Namun hak nafkah bagi anak, tidak putus, sehingga ayah tetap berkewajiban menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal bersama mantan istrinya.
Imam Ibnul Mundzir mengatakan,

وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه

Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta. Karena anak seseorang adalah darah dagingnya, dia bagian dari orang tuanya. Sebagaimana dia berkewajiban memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, dia juga berkewajiban memberi nafkah untuk darah dagingnya. (al-Mughni, 8/171).

3.  Kewajiban menafkahi sebab hubungan kerabat

Kewajiban menafkahi tidak hanya kepada istri, tetapi kepada para kerabat juga wajib (jika terpenuhi syarat- syaratnya), seperti menafkahi anak- anaknya, atau orang tuanya, hal ini didasari oleh beberapa dalal, diantaranya;

Seperti Firman Allah tentang kewajiban seorang ayah menafkahi istri yang telah dicerai dalam keadaan hamil, dan nafkah tersebut adalah untuk sang anak;
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
‘’Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)

Lebih diperjelas kewajiban seorang ayah memberi nafkah kepada anak- anaknya, dalam hadits kisah Hindun bintu Itbah diatas (HR.Bukhori 4945)

Adapun kewajiban seseorang menafkahi orang tua dan kerabatnya, maka ditunjukkan oleh keumuman ayat- ayat al-Qur’an tentang perintah berbakti kepada orang tua (seperti firman Allah QS.al-Isra’ 23, dan 26) dan kebih jelas lagi seperti dalam hadits;
وابدأ بمن تعول : أمك وأباك وأختك وأخاك أدناك أدناك
‘’Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, Ibumu, ayahmu, saudarimu, saudaramu, dan seterusnya.’’

·         Menafkahi kerabat menjadi wajib jika terpenuhi syaratnya
Kewajiban menafkahi para kerabat menjadi wajib jika terpenuhi syarat- syaratnya, diantaranya:
Jika kerabat tersebut (orang tua, saudara dan lainnya) dalam keadaan faqir/ miskin tidak mampu menafkahi diri mereka sendiri, dan tidak ada orang lain yang menafkahi mereka. Tetapi jika mereka mampu, atau ada orang  lain menafkahi mereka, maka gugurlah kewajiban ini.
·           Jika seseorang mempunyai kelebihan setelah menafkahi diri dan yang ditanggugngnya, Rasulullah bersabda;

ابْدأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ
‘’Mulailah menafkahi dirimu sendiri, jika tersisa, maka untuk anggota keluargamu, jika tersisa, maka untuk kerabat dekatmu.’’ (HR.Muslim 1663)

Catatan; Adapun kadar besaran nafkah kepada kerabat adalah sama dengan kadar besaran nafkah kepada ustri yaitu mencukupi kebutuhan mereka dengan cara yang patut sesuai kemampuan.


Seputar harta bersama

·         Hukum Islam tidak melihat adanya harta bersama. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami memberikan sebagian hartanya itu kepada istrinya atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan harta, kecuali dalam bentuk syirkah, yang untuk itu dilakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.
·         Diterapkannya konsep harta bersama, maka nafkah menjadi tanggungjawab bersama suami istri. Nafkah bisa saja menjadi kewajiban suami, namun harus diterapkan pemisahan harta suami istri dalam perkawinan, atau dengan dengan mengkompromikan antara harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah. Ini dilakukan dengan memberi penambahan aturan dalam Pasal 80 KHI mengenai jenis harta yang dapat dipakai untuk memberi nafkah, yaitu harta pribadi dan atau harta yang diperoleh suami selama perkawinan.







Maraji:
Mushaf Tafhim al-quran darul ‘amal
Abdurrahman al-Jaziri, kitab al-Fiqh „ala Madzhabi al-Arbaah, Beirut: Dar -al-Kutub al-„Ilmiyah, 1986.
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995


Tidak ada komentar:

Posting Komentar